Menguak Misteri Santet: Antara Keyakinan, Budaya, dan Realita
Pendahuluan
Santet-satu kata yang langsung membangkitkan imajinasi tentang kekuatan gaib, ritual misterius, dan ketakutan kolektif. Di Indonesia, praktik ini bukan sekadar cerita rakyat, melainkan bagian dari narasi budaya yang terus hidup. Dari desa terpencil hingga perkotaan modern, santet dianggap sebagai alat balas dendam, perlindungan, atau bahkan alat kontrol sosial. Tapi apa sebenarnya yang mendasari kepercayaan ini? Mengapa masyarakat tetap memegang teguh keyakinan akan santet meski zaman telah berubah? Mari kita telusuri lebih dalam, mengaitkan benang merah antara tradisi, pola pikir, dan realitas yang membentuk persepsi tentang santet.
Asal-Usul Santet: Akar Budaya dan Transformasi Sosial
Santet bukanlah fenomena baru. Catatan sejarah menunjukkan praktik ini telah ada sejak era kerajaan kuno di Nusantara, seperti Majapahit dan Sriwijaya. Saat itu, ilmu gaib dianggap sebagai bagian dari keahlian para dukun atau penasihat kerajaan, digunakan untuk melindungi wilayah atau mengalahkan musuh. Namun, seiring masuknya agama Islam sekitar abad ke-8 Masehi, konsep santet mengalami pergeseran. Masyarakat Jawa, misalnya, mulai memadukan kepercayaan animisme dengan ajaran baru, melahirkan praktik santet sebagai bentuk "ilmu hitam" yang bertentangan dengan nilai agama.
Fenomena ini tidak hanya terbatas di Jawa. Di Bali, santet dikenal dengan istilah leak-kekuatan gaib yang diyakini mampu mengubah wujud manusia menjadi makhluk menyeramkan. Sementara di Banyuwangi, santet Osing dikenal karena dampaknya yang spesifik: menyerang alat kelamin pria sebagai bentuk hukuman atas perselingkuhan. Keragaman ini menunjukkan betapa santet telah beradaptasi dengan konteks lokal, menjadi cerminan kompleksitas budaya Indonesia.
Santet dan Psikologi Kolektif: Ketakutan yang Menjadi Senjata
Ada sebuah kisah nyata dari Semarang tahun 1983, di mana seorang pedagang bernama Sucipto dan keluarganya menjadi korban santet segoro pitu setelah terlibat persaingan bisnis sengit. Mereka mengalami gejala fisik mengerikan: muntah darah, halusinasi, hingga menemukan paket berisi tengkorak manusia. Kisah ini bukan sekadar legenda-ia menggambarkan bagaimana santet berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
Dalam komunitas yang kuat akan tradisi, ketakutan akan santet sering kali digunakan untuk menegakkan norma. Seseorang yang dianggap menyimpang-misalnya, terlalu kaya atau arogan-bisa dituduh sebagai pelaku santet, sehingga dikucilkan. Di sisi lain, keyakinan ini juga menjadi mekanisme pertahanan psikologis. Ketika seseorang gagal memahami penyebab musibah (seperti sakit misterius atau gagal panen), santet menjadi "jawaban" yang mudah diterima.
Doktrin Agama vs. Kearifan Lokal: Konflik yang Tak Pernah Usai
Islam secara tegas melarang praktik santet. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 102 menyebut sihir sebagai perbuatan setan, dan pelakunya dianggap musyrik. Fatwa MUI pun menegaskan bahwa santet haram hukumnya, dengan dalil bahwa pelakunya "tidak diampuni dosanya". Namun, di tingkat akar rumput, pertentangan ini tidak selalu hitam-putih.
Banyak masyarakat tetap percaya pada kekuatan dukun, meski secara formal mengaku beragama. Hal ini terlihat dari maraknya praktik ruqyah syar'iyah-pengobatan alternatif yang menggabungkan ayat Al-Qur’an dengan ritual tolak santet. Fenomena ini menunjukkan betapa kepercayaan tradisional sering kali berbaur dengan ajaran agama, menciptakan sintesis unik yang sulit dipisahkan.
Santet dalam Sorotan Sains: Sugesti atau Kekuatan Nyata?
Pada 2024, sebuah penelitian di Jawa Tengah mengungkapkan bahwa 60% kasus santet berkaitan dengan gangguan psikosomatik-gejala fisik yang dipicu oleh tekanan mental. Korban yang percaya diri terkena santet kerap mengalami mual, pusing, atau sesak napas, meski tidak ditemukan kelainan medis. Ini memperkuat teori efek placebo negatif, di mana keyakinan akan bahaya justru memicu reaksi tubuh nyata.
Namun, tidak semua kasus bisa dijelaskan secara ilmiah. Ada laporan tentang korban yang "mengeluarkan" jarum atau paku dari tubuh-fenomena yang sulit diterima logika. Beberapa ahli menduga ini merupakan bentuk self-harm tidak sadar, sementara yang lain mengaitkannya dengan teknik ilusi. Apa pun penjelasannya, yang jelas santet telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan yang memengaruhi cara masyarakat memandang kesehatan dan nasib.
Santet sebagai Cermin Masyarakat: Dari Desa hingga Politik
Pada 1998, gelombang kekerasan terkait tuduhan santet mengguncang Banyuwangi. Puluhan orang dituduh sebagai dukun dan dibunuh massa-sebuah tragedi yang mengekspos bagaimana sentimen mistis bisa dipolitisasi. Peristiwa ini bukan sekadar konflik supernatural, melainkan cermin dari ketegangan sosial-ekonomi yang terpendam.
Di era modern, santet tetap relevan sebagai metafora. Dalam dunia bisnis, istilah "santet digital" kerap digunakan untuk menggambarkan serangan pesaing melalui media sosial atau ulasan palsu. Bahkan di kalangan artis, gosip tentang "guna-guna" masih menjadi bahan perbincangan. Ini membuktikan bahwa santet bukan lagi sekadar ritual, melainkan konsep yang terus berevolusi mengikuti zaman.
Penutup
Santet, dalam segala kompleksitasnya, adalah jendela untuk memahami masyarakat Indonesia. Ia bukan sekadar cerita horor, melainkan fenomena multidimensi yang menyentuh aspek religi, psikologi, dan politik. Meski sains belum bisa membuktikan keberadaannya secara objektif, pengaruhnya terhadap kehidupan nyata tidak terbantahkan.
Bagi yang percaya, santet adalah peringatan untuk hidup selaras dengan norma. Bagi yang skeptis, ia adalah cermin bagaimana ketakutan dan kepercayaan dapat membentuk realitas. Yang pasti, selama masih ada misteri yang belum terpecahkan, santet akan tetap hidup-bukan sebagai ilmu hitam, melainkan sebagai bagian dari identitas budaya yang terus bertransformasi.
Kata Kunci: santet, ilmu hitam, budaya Indonesia, psikologi kolektif, efek placebo, tradisi vs modernitas
Posting Komentar