-->

Menguak Fenomena "KaburAjaDulu": Mengapa Generasi Muda Ingin Tinggalkan Tanah Air?

Pendahuluan

Tagar #KaburAjaDulu tiba-tiba viral, menjadi cermin kegelisahan generasi muda Indonesia. Di balik candaan di media sosial, tersimpan kisah nyata: survei YouGov 2025 mengungkap 41% Gen Z serius mempertimbangkan hidup di luar negeri. Apa yang membuat mereka ingin "lari" dari tanah kelahiran? Artikel ini mengupas lapisan-lapisan kompleks di balik fenomena ini, dari ketimpangan ekonomi hingga dorongan budaya yang tak terucapkan.

Ilustrasi generasi muda Indonesia membawa koper dengan latar peta dunia.

1. Mimpi yang Terhambat di Negeri Sendiri

Data BPS 2024 menunjukkan 5,32% pengangguran di Indonesia didominasi lulusan perguruan tinggi. Ironisnya, banyak lowongan mensyaratkan pengalaman 2 tahun untuk posisi entry-level, menciptakan lingkaran setan "butuh kerja untuk dapat kerja". Upah minimum regional (UMR) yang hanya Rp5-6 juta di kota besar semakin tak sebanding dengan biaya hidup melambung. Bandingkan dengan gaji tenaga asing di Singapura yang mencapai Rp66 juta/bulan jurang ini memicu pertanyaan: mengapa berjuang di dalam negeri jika di luar lebih menjanjikan?

2. Pendidikan: Gerbang Menuju Dunia Baru

Tradisi "merantau" ala Minangkabau telah berevolusi. Jika dulu merantau untuk berdagang, kini 51,72% pemuda Minang usia 19-25 tahun merantau demi pendidikan. Kampus-kampus di Yogyakarta dan Surabaya menjadi batu loncatan, dengan 18,37% migran antarprovinsi berusia 25-29 tahun. Namun, gelar sarjana kerap tak cukup-banyak yang akhirnya memilih bekerja di luar negeri karena lapangan kerja lokal tak menyerap keahlian mereka.

3. Tekanan Sosial yang Membelenggu

Budaya kolektif Indonesia kadang menjadi pisau bermata dua. Studi CHAMPSEA UGM mengungkap: anak dari keluarga migran cenderung lebih hiperaktif dan kurang bahagia secara psikologis. Tekanan untuk sukses cepat, ditambah stigma "gagal jika tak kuliah atau bekerja di kota", memicu keinginan kabur. Fenomena ini diperparah oleh media sosial yang memamerkan kesuksesan teman sebaya di luar negeri.

4. Pencarian Identitas di Usia Transisi

Masa remaja-awal dewasa (15-29 tahun) adalah fase kritis pembentukan jati diri. Penelitian AKATIGA di NTT menemukan: 58% pemuda menganggap migrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari siklus hidup. Bagi mereka, merantau bukan sekadar mencari uang, tapi proses "menjadi dewasa" lewal ujian kemandirian. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam pekerjaan tak layak di luar negeri karena kurangnya keterampilan3.

5. Pelarian dari Konflik Keluarga

Tak semua kabur demi masa depan cerah. Hello Sehat mencatat: 23% remaja minggat karena merasa tak dihargai orang tua, terutama yang berasal dari keluarga migran. Kasus perundungan di sekolah yang tak tertangani menjadi pemicu lain. Di era digital, ancaman baru muncul: 15% remaja dijebak pelaku kejahatan melalui media sosial untuk tujuan perdagangan manusia.

6. Mitos Kesuksesan Instan

Filosofi "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" mulai tergerus narasi kesuksesan instan. Survei YouGov menunjukkan: 29% migrasi muda bertujuan membuka bisnis, terinspirasi kisah pengusaha diaspora. Namun, penelitian UIN Jakarta mengingatkan: hanya 25% kiriman uang migran digunakan untuk investasi produktif. Sebagian besar habis untuk konsumsi dan renovasi rumah siklus yang justru mempertahankan ketergantungan pada migrasi.

Penutup

Fenomena "kabur" generasi muda adalah cermin retak sistemik. Di satu sisi, ia membuka jalan mobilitas sosial; di sisi lain, memperlihatkan kegagapan negara memenuhi hak dasar warganya. Solusinya bukan melarang mereka pergi, tapi menciptakan ekosistem di mana mimpi bisa tumbuh di tanah sendiri. Seperti kata pepatah Tiongkok kuno: "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan"-mungkin dengan membenahi sistem pendidikan, membuka lapangan kerja berkelanjutan, dan mendengarkan suara mereka yang terpinggirkan.

Kata Kunci: KaburAjaDulu, migrasi muda, alasan kabur dari Indonesia, ekonomi generasi muda, pendidikan luar negeri.